Rabu, 07 April 2010

Budaya Modern yang Supraetnis Sebagai Budaya Bangsa (Antropologi)

Kata Pengantar

Pertama-tama, kami mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena dengan kasih dan anugrahNyalah kami dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Adapun maksud dari makalah ini sebagai salah satu tugas pembuatan karya ilmiah pada mata kuliah Cultural Anthropology.
Setiap bangsa memiliki kebudayaannya sendiri. Begitu juga dengan Indonesia yang kaya akan kebudayaannya. Dari budaya tersebut terjadi perubahan yang signifikan sesuai dengan perkembang zaman yang disebut dengan era globalisasi. Dari perkembangan itulah kebudayaan dapat tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik.
Dikesempatan ini pula, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Tutik, selaku dosen mata kuliah Cultural Anthropologi.
2. Teman-teman satu kelompok, Agung, Annisa, Gilda, Sisca, dan Pina yang telah bekerja sama dalam penyusun karya ilmiah ini.

Akhir kata ”tak ada gading yang tak retak” oleh karena itu kami mohon maaf atas kekurangan atau kesalahan yang terdapat dalam penulisan makalah ini.
Terima kasih atas perhatiannya.




Jakarta, Mei 2009


Penyusun


Bab I
Pendahuluan

I.i Latar Belakang

Perubahan-perubahan yang begitu cepat terjadi dalam hamper semua aspek kehidupan dewasa ini memerlukan suatu pemikiran yang menyeluruh mengenai budaya. Era kita sekarang ini, yang lebih dikenal dengan sebutan era globalosasi dimana tembok-tembok pemisah antar umat manusia dalam satu dunia (global village) mulai memudar berkat kemajuan dibidang komunikasi dan transparansi.
Beberapa orang mengatakan bahwa budaya global (global culture) telah lahir yakni era nasionalisme sudah kuno dan lewat dan begitu pula halnya dengan budaya nasional. Tetapi sebagian berpendapat bahwa pengertian globalisasi merupakan sesuatu yang samar-samar atau bahkan sama sekali asing. Walaupun dalam beberapa bidang kehidupan sehari-hari, pengaruh globalisasiyang berupa kemudahan-kemudahan sudah tertancap dalam-dalam dan tanpa kemudahan-kemudahan tersebut mereka akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kini era itu lebih dikenal sebagai era serba-ketergantungan (interdependency) yang menggambarkan bahwa suatu negara atau bangsa tidak akan mungkin menghindari hubungan dengan negara-negara atau bangsa-bangsa lain demi mempertahankan eksistensinya. Dapat dikatakan juga bahwa dalam era globalisasi dewasa ini, suatu negara atau bangsa ”terjerat” dalam suatu ketegangan sebagai akibat ketergantungannya pada negara atau bangsa lain dan keinginannya untuk mempertahankan kemandiriannya serta identitasnya sendiri di antara negara-negara atau bangsa lain. Hal tersebut didasari motif mempertahankan eksistensinya sebagai satu negara dan bangsa.
Kita akan mempelajari arah pengembangan budaya Indonesia berdasarkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu bangsa yang mandiri dan berdaulat. Persyaratan-persyaratan yang dimaksud ialah berdimensi kearah dalam (intern bangsa) dan berdimensi ke luar (global). Untuk pemahan tersebut, maka terlebih dahulu kita mencoba melihat dimana kita berdiri setelah kita merdeka 50 tahun.

I.ii Rumusan Masalah

1. Setelah merdeka 50 tahun, sudah sejauh manakah kita mengebangkan budaya bangsa kita yang berlandaskan Pancasila dan bermuka Bhinneka Tunggal Ika tersebut benar-benar dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa?

2. Budaya modern yang bagaimanakah yang harus dikembangkan agar bangsa Indonesia dapat menjawab tantangan dan menggunakan peluang yang dibawa oleh Era Globalisasi dan juga dapat memasuki abad ke-21 yang sudah diambang pintu itu sehingga bangsa Indonesia dapat mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa yang unggul dan jaya?

I.iii Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan karya ilmiah ini untuk dapat lebih mengetahui dan menganalisis hubungan Era Globalisasi dengan perkembangan budaya yang terjadi di Indonesia terlebih sejak merdeka 50 tahun hingga saat ini. Perkembangan budaya tersebut apakah sudah mencapai tahap budaya modern tanpa meninggalkan budaya tradisional yang ada sejak zaman dahulu. Sehingga kebudayaan yang ada menjadi mempersatu antara budaya-budaya di Indonesia yang menjasi kebudayaan nasional sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

I.iv Hipotesis

Indonesia dapat mengikuti Era Globalisasi sehingga kebudayaan yang ada menjadi kebudayaan modern yang tidak meninggalkan kebudayaan tradisional yang ada. Selain itu, kebudayaan Indonesia tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yangberarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu dan menggabung kebudayan-kebudayaan tradisional yanh ada menjadi kebudayan nasional.

Bab II
Tinjauan Pustaka

II.i. Teori Kebudayaan

II.i.i. Definisi Etimologis

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah, manusia mulai hidup sebagai penghasil makanan ( food producing). Hal ini berarti manusia telah berbudi daya mengerjakan tanah karena telah menin ggalkan kehidupan yang hanya memungut hasil alam saja ( food gathering). Dalam sejarah kebudayaan, bajak dijadikan benda sejarah (artifact) sebagai bukti bahwa manusia telah berbudaya.
Pemilihan definisi kebudayaan yang tepat sangat sukar karena begitu banyak orang yang mendefinisikannya, beberapa diantaranya akan dibahas di dalam definisi konseptual.

II.i.ii Definisi Konseptual

II.i.ii.i Simpatupang, 1994
Semuanya pengaruh ini memberikan persamaan yang berbeda-beda kadarnya (dan juga perbedaan-perbedaan) pada budaya-budaya daerah yang berada itu.

II.i.ii.ii Koentjaraningrat, 1985
Semestaan Budaya:
1. sistem religi dan keagamaan
2. sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. sistem pengetahuan
4. bahasa
5. sistem kesenian
6. sistem mata pencaharian hidup
7. sistem teknologi dan peralatan

Bangsa Indonesia memiliki (1985a):
1. “nilai budaya yang (tidak) berorientasi terhadap hasil karya manusia itu sendiri (tidak achievement oriented)”
2. “orientasi terlalu banyak terarah ke zaman lampau” sehingga “akan melemahkan kemampuan seseorang untuk melihat ke masa depan”
3. kecenderungan melarikan diri dari dunia ke dunia kebatinan “yang tidak begitu cocok dengan jiwa rasionalisme yang kita perlukan untuk mempercepat pembangunan”
4. kecenderungan “yang terlampau banyak menggantungkan diri kepada nasib”
5. kecenderungan untuk “menilai tinggi konsep sama-rata-sama-rasa...(yang) mewajibkan suatu sikap konformisme yang besar (artinya, orang sebaiknya menjaga agar jangan dengan sengaja berusaha untuk menonjol di atas yang lain)…(suatu) sikap (yang) agak bertentangan dengan jiwa pembangunan yang justru memerlukan usaha jerih payah dengan sengaja dari individu untuk maju dan menonjol di atas yang lain.
6. “adat sopan santun (yang) amat berorientasi ke arah atasan” yang mematikan hasrat untuk berdiri sendiri dan berusaha sendiri.

Mentalitas yang terbentuk sebagai akibat revolusi itu (1985b):
1. sifat mentalitas yang meremehkan mutu
2. sifat mentalitas yang suka menerabas
3. sifat tak percaya kepada diri sendiri
4. sifat tak berdisiplin murni
5. sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.
II.i.ii.iii Featherstone, Smith, Konrad dan Hannerz
Jika pengertian-pengertian ini kita pakai untuk meninjau budaya-budaya etnis yang terdapat di Indonesia, maka aemboyan Bhinneka Tunggal Ika itu harus diberi pengertian dinamis dan bukan yang statis untuk mempertahankan dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan, yaitu Tunggal Ika, diantara seluruh rakyat Indonesia.

II.i.ii.iv Linus Suryadi Ag, 1990:117
Menjadi orang Indonesia berarti siap untuk diterpa proses perubahan. Dari Jawa atau Minang atau Batak, atau lainnya, menjadi Indonesia. Dari penganut agama yang eksklusif, menjadi penganut yang siap berdampingan dengan penganut agama lain, dalam komunitas baru yang bernama Indonesia.

II.i.ii.v Sutan Takdir Alisjahbana, 1979
Seluruh kebudayaan-kebudayaan Indonesia, juga kebudayaan daerah, akan berpokok pada ilmu dan bersifat progresif. Kalau berternak sapi di daerah, ia harus dipelihara secara ilmiah. Bahasa apa pun yang dikuasai sekolah-sekolah di desa, ia mesti memberikan ilmu abad keduapuluh ini. Warung di desa mesti dijalankan dengan pikiran yang menyadari efisiensi. Kita tak peduli petani memberi sesajen untuk Dewi Sri, namun mereka harus menanam padinya secara modern. Dalam hal ini sifat kedaerahan hilang. Indonesia adalah bagian dari dunia, dan karenanya ia tidak bisa lari dari kebudayaan progresif. Kenapa demikian? Karena kebudayaan yang berpokok pada ilmu, ekonomi, telah menyatukan dunia. Yang tidak sadar akan hal ini, berarti hidup dalam abad yang lampau. Kita masih hidup dalam abad pertengahan. Kesukarannya adalah karena cara berpikir unversitas belum sampai ke desa, dan rasionalisasi dalam bidang ekonomi serta efisiensi masih merupakan kata-kata asing.

Penjajahan adalah sebagai akibat hukum alam: yang pintar, kuat, dinamis, mesti menguasai yang bodoh, lemah dan statis.

Bagaimana pun bangganya kita, kita harus sadar bahwa kebudayaan kita tidak pintar, lemah dan statis. Kebanggaan kita kadang-kadang berlebihan. Kita kurang intropeksi. Kita harus melihat perubahan dunia secara nyata, jujur, jangan bermimpi dan berilusi. Kita harus merubah mental dari kebudayaan ekspresif dan fantasi, sedikit rasio yang berdasarkan intuisi, menjadi kebudayaan yang dikuasai rasio, perhitungan, dan realistis. Dengan itu, bukan berarti agama bakal hilang. Saya tak khawatir sumber agama akan lenyap. Hanya orang bodoh dan tak memahami arti agama sesungguhnyalah yang memiliki kekhawatiran demikian.

II.i.ii.vi Chatterjee (1993:73)
“…the act of cultural synthesis can, in fact, be performed only by a supremely cultivated and refined intellect. It has a project of national cultural regenration in which intelligentsia leads and the nation follows”

Chatterjee (1963:56)
“…instead of welcoming machinery as a boon, we should look upon it as an evil”

II.i.ii.vii Toynbee (1993:287)
“…a society which is under fire from the radiation of a more potent foreign culture must either master this foreign way of life or perish… This positive and constructive response to the challenge of cultural agression is a proof of statesmenship because it is a victory over natural inclinations. The natural response is negative one of the oyster who closses his shell, the tortoise who withdraws into his carapace, the hedgehog who roll himself into a spiky ball, or the ostrich who hides his head in the sand…”

II.i.ii.viii Rabi (163:138)
“Every generation of mankind has to remake its culture, its values, and its goals. Changing circumstances make older habits and customs valueless or obsolete. New knowledge exposes the limitations and the contingent nature of older philosophies and of previously accepted guides to action. Wisdom does not come in formulas, proverbs, wise saws, but out of the living actuality. The past is important for understanding the present, but it is not the present. It is in a real sense created in the present, and changes from the point of view of every generation”

Rabi (1963:139)
Dalam perubahan budaya, ada yang akan tetap bertahan atau sama, antara lain, sistem syaraf kita dan hasil seni yang besar karena pemahaman yang mendalam tidak tergantung pada waktu.

II.i.ii.ix Liek Wilardjo (1992)
Sadar iptek ialah sadar bahwa iptek itu:
1. tanggam-budaya
2. dialektik
3. ada yang bersifat transaintifik

II.i.ii.x Pembangunan Jangka Panjang II
“Tercapainya kemajuan nasional dalam pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing bangsa yang diperlukan untuk memacu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang berkualitas, maju, mandiri serta sejahtera, yang dilandasi nilai-nilai spiritual, moral, dan etik didasarkan nilai luhur bangsa serta nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.”

II.i.ii.xi Jujun S. Suriasumantri (1986:54)
Sikap dan nilai yang lebih sesuai dengan kehidupan modern:
1. terbuka terhadap inovasi dan perubahan
2. menumbuhkan perhatian pada masalah-masalah di luar diri sendiri dan dengan demikian tumbuh sikap yang lebih demokratis
3. lebih berorientasi pada masa depan daripada masa lampau
4. menghargai perencanaan dan menjalankan kehidupan berdasarkan rencana yang dibuat
5. menggunakan potensi lingkungan secara aktif dan tepat sehingga menjamin pembangunan berkelanjutan (berwawasan lingkungan)
6. mengandalkan perhitungan sehingga tidak tergantung pada ”nasib”
7. menghargai martabat manusia (menjamin hak-hak asasi manusia dan keadilan)
8. dapat melihat kegunaan ilmu pengetahuan dan teknologi
9. menghargai pekerjaan sesuai dengan prestasi

II.i.ii.xii Featherstone (1994:1-2)
Tentang Global culture:
“Is there a global culture? If by a global culture we mean something akin to the culture of the nation-state writ large, then the answer is patently a negative one. On this comparison the concept of a global culture fails, not least because the image of the culture of the nation state is one which generally emphasizes cultural homogeneity and integration. According to this line of reasoning, it would be impossible to identify an integratedglobal culture without the formation of a world state a highly unlikely prospect. Yet if we move away from the static polarity suggested by our orginial question and try to employ a broader definition of a culture and think more in terms of processes, it might be possible to refer to the globalization of culture. Here we can point to cultural integration and cultural disintegration processes which transcend the state-society unit and can therefore be held to occur on a trans-national or trans-societal level. It therefore may be possible to point to trans-societal cultural processes which take a variety of forms, some of which have preceded the inter-state relations into which nation-states can be regarded as embedded, and precesses which sustain the exchange and flow of goods, people, information, knowledge and images which give rise to communication processes which gain some autonomy on a global level. Hence there may be emerging sets of ‘third cultures’, which themselves are conduits for all sorts of diversecultural flows which cannot be merely understood as the product of bilateral exchanges between nation-states. It is therefore misleading to conceive a global culture as necessarily entailing a weakening of the sovereignity of nation-states which, under the impetus of some form of teological evolutionism or other master logic, will necessarily become absorbed into larger units and eventually a world state which produced cultural homogeneity and integration. It is also misleading to regard the emergence of third cultures as the embodiment of a logic which points to homogenization. The binary logic which seeks to comprehend culture via the mutually exclusive terms of homo-geneity/heterogeneity, integration/disintegration, unity/diversity, must be discarded. At best, these conceptual pairs work on one face only of the grounds, the various generative processes, involving the formation of cultural images and traditions as well as the intergroup struggles and interdependencies, which led to these conceptual oppositions becoming frames of reference for comprehending culture within the state society which then become projected on to the globe.”

II.i.ii.xiii Smith (1994:174)
Budaya global secara industri (‘post-industrial’ global culture):
“Broadly speaking, it is argued that the era of nation-state is over. We are entering a new world of economic giants and superpowers, of multinationals and military blocks, of vast communications networks and international division of labour. In such a world, there is no room for medium or small-scale states, let alone submerged ethnic communities and their competing and divisive nationalisms. On the other hand, capitalist competition has given birth to immensely powerful transnational corporations with huge budgets, reserves of skilled labour, advanced technologies and sophisticated information networks. Essential to their success is the ability to deliver suitably packaged imagery and symbolism which will convey their definitions of the services they provide. While they have to rely on a transnational lingua franca, it is the new system of the telecommunications and computerized information networks which enable them to by pass differences in language and culture to secure the labour and markets they require. In other words, the resources, range, specialized flexibility of transnational corporations’ activities enable them to present imagery and information on an almost global scale, threatening to swamp the cultural networks of more local units, including nations and ethnic communities.”

Smith (1994:179-180)
“Unlike national cultures, a global culture is essentially memory less. Where the ‘nation’ can be constructed so as to draw upon and revive latent popular experiences and needs, a ‘global culture’ answers to no living needs, no identifying the making. It has to be painfully put together, artificially, out of the many existing folk and national identities into which humanity has been so long divided. There are no ‘world memories’ that can be used to unite humanity; the most global experiences to date colonialism and the World Wars can only serve to remind us of our historic cleavages. (if it is argued that nationalists suffered selective amnesia in order to construct their nations, the creators of a global culture would have to suffer total amnesia, to have any chance of success!)”

II.i.ii.xiv Hannerz (1994:243)
Menggambarkannya sebagai budaya yang bertalian dengan pekerjaan saja: “Transnational cultures today tend to be more or less clear-cut occupational cultures (and are often tied to transnational job markets).”

II.i.ii.xv George Konrad (1984:208-209)
“The global flow of information proceeds on many different technical and institutional levels, but on all levels the intellectuals are the ones who know most about one another across the frontiers, who keep in touch with one another, and who feel that they are one another’s allies…
We may describe as transnational those intellectuals who are at home in the cultures of other people as well as their own. They keep track of what is happening in various places. They have special ties to those countries where they have lived, they have friends all over the world, they hop across the sea to discuss something with their colleagues; they fly to visit one another as easily as their counterparts two hundred years ago rode over to the next town to exchange ideas.”

II.i.ii.xvi McRae (1994:81)
“…all the region’s countries can look to Japan as an example of economic achievement, while China has the example of Chinese communities overseas. Some people try to see the work ethic in religious terms Japan’s brand of Buddhism, for example, celebrates work as divine: ‘Unlike Christian societies, where work is necessary evil, we believe labor is an act of God, that working allows us to become closer to God’ (demikian Taijin Tomoke, pendeta Budha dari biara Myokeiji, Jepang) and the influence of Confucian philosophy, which stresses discipline and hard work, is apparent throughout East Asia.”

II.i.iii. Definisi Operasional

Dari beberapa definisi yang dikemukan oleh para ahli dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan, yaitu sistem atau ilmu pengetahuan yang meliputi adat istiadat, sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari- hari dan pola hidup manusia, kebudayaan itu bersifat abstrak.


Bab III
Tinjauan Pustaka

1. Budaya-budaya Etnis sebagai Latar Belakang Budaya Nasional

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbentuk dari berbagai suku, ras, bahasa, budaya, dan agama, dan mendiami ribuan pulau, besar dan kecil, yang tersebarluas di suatu kawasan yang kita sebut nusantara. Secara geografis, wilayah Indonesia berada pada posisi yang sangat strategis dan menguntungkan, yaitu di antara dua benua dan dua samudra. Didalamnya terdapat aneka budaya etnis, aneka jenis flora dan fauna, serta sumber alam yang melimpah. Kita mempunyai motto yang tercantum pada lambing kita: Bhinneka Tunggal Ika. Dalam UUD45 bahwa:

“Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budidaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kea rah kemajuan adab, budaya persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”

Rumusan diatas sama sekali tidak bersifat statis karena rumusan juga berbicara tentang budaya yang berkembang, jadi dinamis, dan tujuannya pun menumbuhkan budaya yang mengabdi kepada kemanusiaan bangsa Indonesia. Budaya etnis dipertahankan karena masih berfungsi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Misalnya, adapt perkawinan suku-suku yang terdapat di seluruh Indonesia. Bagi orang Batak, upacara perkawinan belum lengkap jika belum dilaksanakan secara adat Batak.

Budaya-budaya yang sebelum dan sesudah tersentuh dengan budaya lain. Ada suku-suku yang menempati daerah-daerah yang sangat terisolasi, ada yang hanya mengenal bahasa lisan saja, ada yang sudah mengenal sistem pengairan dalam persawahan dan ada yang berladang dengan berpindah-pindah, dan bahkan ada yang menggantungkan hidupnya pada hasil berburu dan meramu dan belum mengenal bercocok tanam.
Budaya-budaya daerah pernah mendapat pengaruh dari agama dan budaya asli Indonesia, Hindu, Budha, Islam dan Kristen, selain pengaruh budaya-budaya daerah yang berbeda kadarnya [dan juga perbedaan-perbedaan] pada budaya-budaya daerah yang berbeda itu (simatupang, 1994).
Dalam UUD45, Pasal 32 tercantum bahwa “usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya persatuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.” Yang terkandung dalam Pasal 32 harus dipakai untuk menilai, mengembangkan dan melestarikan budaya-budaya etnis yang masih ada sekarang ini.

2. Di mana kita sekarang

Secara resmi, sejak tahun 17 Agustus 1945, kelompok kelompok etnis dengan berbagai macam latar belakang, telah mengaku bahwa mereka telah menjadi satu bangsa yang tergabung dalam satu negara kesatuan Republik Indonesia (suatu nation – state) yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, salah satu syarat yang sangat diperlukan untuk eksistensi suatu bangsa, yaitu keinginan bersatu dan rasa persatuan dan kesatuan ( le desir d’etre ensemble ) sudah secara resmi diumumkan kepada seluruh dunia. Selain itu, Ideologi bangsa adalah Pancasila sudah pula selesai dirumuskan dan disepakati, sehingga pekerjaan dan tugas nasional yang harus dilakukan selanjutnya adalah mempertahankan kemerdekaan dan mengisi dengan pembangunan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Ditinjau dari berbagai aspek kehidupan, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa kehidupan bangsa Indonesia sudah jauh berbeda sejak Proklamasi sapai dengan era Orde Baru sekarang ini. Di bidang Ideologi, misalnya, bangsa Indonesia sudah sepakat bahwa satu – satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah Pancasila. Dengan kata lain, apa saja yang kita lakukan sebagai suatu bangsa harus selalu diukur dengan nilai – nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila secara utuh. Itulah sebabnya kita menyatakan bahwa pembangunan yang kita laksanakan adalah pengalaman Pancasila. Untuk itu harus kita lakukan sebagai amanat Pancasila dan UUD 1945 untuk meneruskan dan meningkatkan hasil pembangunan yang telah kita lampaui itu.

3. Budaya sebagai Pemersatu Bangsa

Subtema seminar kita berbunyi Memperkukuh Persatuan dan Kesatuan Bangsa Sebagai Inti Ketahanan Nasional di Tengah Interaksi Peradaban Dunia. Subtema ini berbicara mengenai persatuan dan kesatuan sebagai alat ketahanan nasioanal dan juga budaya (peradaban) bangsa Indonesia (tentunya) di antara budaya bangsa – bangsa lain dan bagaimana budaya bangsa Indonesia itu berinteraksi dengan budaya yang beranekaragam tersebut. Dapat pula kita lihat adanya dua perspektif budaya yang ditinjau, yaitu perspektif ke dalam dan perspektif ke luar. Perspektif ke dalam menyangkut peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa melalui pengembangan budaya yang bercorak nasional yang supra etnis dan perspektif ke luar meningkatkan kemampuan budaya Indonesia yang modern untuk menghadapi budaya-budaya lain serta tantangan – tantangan dan juga agar dapat menggunakan peluang-peluang yang terdapat di dalam era globalisasi demi eksistensi bangsa Indonesia dan demi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia.
Salah satu yang hendak dicapai melalui persaryan dan kesatuan bangsa adalah stabilitas yang merupakan salah satu prasyarat untuk menjalankan pembangunan . Stabilitas yang dimaksud di sini hendaknya janganlah hanya diartikan dari segi keamanan saja, akan tetapi juga dari aspek – aspek lain (politik,ekonomi,hukum,sosial,budaya,dan lain – lain)



4. Budaya Nasional yang Supraetnis

Pertama – tama, perlu dinyatakan disini bahwa yang dimaksud dengan budaya (kebudayaan) adalah budaya dalam arti luas, yaitu semua yang dilakukan manusia dalam suatu kelompok untuk menciptakan kehidupan yang tujuan akhirnya memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada setiap anggota kelompok yang bersangkutan. Hal – hal yang perlu dicatat dalam pembicaraan kita tentang budaya ini ialah beberapa aspek seperti aspek material dan aspek nonmaterial budaya. Aspek material mengacu kepada benda – benda kongkret yang dihasilkan masyarakat dan aspek nonmaterial mengacu kepada ciptaan yang abstrak yang dihasikan oleh masyarakat seperti adat kebiasaan, hukum, ide, nilai – nilai, dan kepercayaan. Jika kita membandingkan budaya yang satu dengan yang lain, di samping adanya perbedaan – perbedaan, maka dapat dilihat bahwa ada unsur – unsur yang selalu hadir dalam setiap budaya, yaitu yang disebut semestaan budaya (Koentjaraningrat, 1985):
1) Sistem religi dan keagamaan
2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3) Sistem pengetahuan
4) Bahasa
5) Sistem kesenian
6) Sistem mata pencaharian hidup
7) Sistem teknologi dan peralatan

Aspek yang lain yang perlu juga diperhatikan dalam pembicaraan ini ialah aspek pemersatu atau integratif budaya bagi para anggota masyarakat budaya yang bersangkutan. Dengan kata lain, ke dalam, budaya bersifat inklusif dan integratif. Namun, disamping aspek inklusif (integratif) ini, bagi yang bukan anggota masyarakat budaya yang bersangkutan, budaya bersifat eksklusif. Interaksi di antara pendukung budaya yang berbeda akan menyadarkan para pendukung budaya tentang adanya sifat budaya yang eksklusif tadi. Sekarang orang telah berbicara tentang budaya global (global culture) dan budaya transnasional (transnational cultures) yang unsur – unsurnya sama dan terdapat dalam berbagai budaya yang berbeda. Menghilangkan dan mengganti budaya etnis dengan budaya lain bukanlah jalan yang tepet, dan hal ini bertentangan dangan Pasal 32 UUD 1945, dan kiranya tidak akan ada kekuatan dan rekayasa yang sanggup melaksanakan hal demikian. Upaya yang perlu dilakukan untuk mempertahankan dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia melalui budaya ialah memberi warna, corak atau muatan kebangsaan atau nasional kepada unsur – unsur tertentu dari budaya etnis. Memberi warna nasional yang dimaksud di sini ialah menjadikan unsur – unsur tersebut bagian yang tidak terpisahkan daribudaya nasional yang daya cakupnya melampaui batas – batas keetnisan. Tanpa menghilangkan seluruh warna atau akar budaya etnis dari suatu kesenian etnis, misalnya, kita dapat menjadikannya bagian dari budaya nasional sehingga seluruh rakyat Indonesia dapat menikmatinya dan, dengan demikian, dapat merasa memilikinya. Ada hasil – hasil sastra dan pertunjukkan etnis yang dapat diperlakukan demikian. Wayang Jawa dan Sunda dapat disampaikan dalam bahasa Indonesia, misalnya, sehingga suku – suku lain dapat mengenal dan menikmatinya, dan akhirnya, ini yang paling penting, merasa memilikinya. Contoh – contoh serta eksperimen telah dilakukan dalam bidang seni tari, misalnya, oleh Bagong Kussudiardjo. Bagong menciptakan kreasi baru yang berakar pada seni tari atau budaya etnis Jawa dan hasil ciptaannya bahkan ada yang mendapat apresiasi dunia internasional. Seni musik etnis dapat disampaikan dengan cara yang modern, misalnya, melalui orkestra seperti yang juga semakin sering dieksperimenkan dan dilakukan belakangan ini. Di bidang seni musik, Nortir Simanungkalit, misalnya memadukan serta menyesuaikan alat – alat musik gondang Batak dengan alat – alat musik orkestra Barat untuk menyampaikan lagu – lagu tradisional Batak. Angklung dari Sunda telah menyebar ke daerah – daerah lain. Kita mengetahui bahwa bahasa musik merupakan semacam “bahasa” yang dimengerti oleh semua orang sehingga kreasi yang bercorak nasional di bidang seni musik ini sangat mungkin diciptakan.
Sudah tentu bahwa pengolesan budaya etnis dengan sapuan warna nasional tidak merupakan satu – satu cara untuk menciptakan budaya nasional. Dalam seni sastra, misalnya, kehidupan kita dewasa ini sebagai satu bangsa dapat memberikan inspirasi dan banyak tema yang terdapat di dalamnya melampaui batas – batas keetnisan. Boleh dikatakan bahwa karya – karya sastra Indonesia sejak tahun 1945 sepenuhnya bercorak nasional, baik dalam tema maupun dalam pengunkapannya, dan kalau pun ada warna lain, maka warna itu boleh dikatakan merupakan warna lokal dalam pengaertian etnis. Bentuk pemerintahan tradisional yang pernah berlaku dalam kelompok – kelompok masyarakat etnis telah seluruhnya diganti dengan bentuk pemerintahan yang berdasarkan satu undang – undang dasar, yaitu UUD 1945 dan juga peraturan perundang – undangan lain yang mencakup seluruh wilayah dan masyarakat etnis. Hukum yang berlaku di Indonesia yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 adalah satu. Sistem pendidikan nasional pun telang diundangkan. Beberapa unsur perekonomian beserta peraturan – peraturannya telah pula memberi keseragaman dalam kehidupan bangsa kita. Yang lebih penting lagi untuk diperhatikan ialah bahwa semua unsur – unsur budaya ini bersifat nasional, setidak – tidaknya warna keetnisannya sudah semakin memudar. Perkawinan yang bagi orang – orang Batak yang beragama Kristen, misalnya, diatur oleh tiga jenis peraturan, yaitu undang – undang yang bersifat nasional, peraturan agama, dan peraturan adat. Dan kalau di lihat dari hirarkhi keabsahan perkawinan, maka undang – undang negaralah yang lebih menentukan. Masih banyak contoh yang kiranya dapat dikemukakan bagaimana unsur – unsur budaya etnis “terangkat” ke arah nasional, tanpa mengalami perubahan maupun dengan perubahan.


Bab IV
Penutup


IV.i Kesimpulan

Budaya bangsa Indonesia yang sedang kita kembangkan adalah budaya yang bercirikan Bhinneka Tunggal Ika dengan pengertian bahwa Kebhinnekaan budaya dihormati dan dijamin. Selain unsur budaya-budaya etnis, didalamnya terdapat pula unsur-unsur budaya yang supraetnis, yaitu hasil ciptaan bangsa Indonesia dalam menjawab tuntutan kehidupan bangsa Indonesia secara keseluruhan.Unsur-unsur budaya yang supraetnis berasal dari unsur-unsur budaya etnis setelah diberi warna dan muatan nasional sehingga daya cakupnya lebih luas dari daya cakup unsur-unsur atau budaya-budaya etnis. Selain itu unsur-unsur budaya supraetnis dapat berasal dari budaya-budaya lain sehingga dapat membantu terciptanya budaya baru modern indonesia. Unsur-unsur budaya yang supraetnis akan memberikan daya perekat (integratif) sehingga budaya nasional Indonesia yang suraetnis itu benar-benar menjamin dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan di antara seluruh rakyat Indonesia.
Di dalam budaya yang supraetnis demikian, setiap warga negara Indonesia akan merasa memiliki dan berada di rumah sendiri., terlepas dari latar belakang ras, etnis, budaya, golongan, dan agamanya. Mereka juga akam memiliki pemikiran bahwa warga negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama, yang berarti adalah ciri khas sistem demokrasi. Tanpa adanya hak dan kesempatan untuk berperan-serta dalam menentukan kebijakan-kebijakan dan melaksanakan pembangunan dan juga menikmati hasil-hasil secara adil, rasa solidaritas, persatuan, dan kesatuan yang merupakan salah satu persyaratan penting dari suatu budaya, maka budaya nasional yang supraetnis yang akan kita kembangkan tidak akan pernah tercapai.
Pengembangan budaya yang kita lakukan mempunyai dimensi ke dalam yang tujuannya memperkokoh dan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dimensi ke luarnya bertujuan untuk memekarkan budaya Indonesia menjadi budaya modern yang sanggup menanggapi tuntutan era globalisasi demi eksistensi bangsa Indonesia dan demi kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat Pancasila.
IV.ii Saran

Kelompok kami berharap supaya Indonesia tidak terpecahbelah atau tetap bersatu kita sebagai rakyat Indonesia harus lebih mencintai negeri kita sendiri dengan cara mengasah pengetahian kita tentang kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia, dengan membeli produk-produk dalam negeri, dan dengan mempelajari bahasa-bahasa daerah supaya kita bisa melestarikan kebudayaan hingga akhir zaman nanti dan agar kita tetap bersatu menjadi negara yang tidak mudah dihasut oleh apapun dan siapa pun juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar